Refleksi Hari Ibu
Dengerin Pakai Cinta, Bukan Pakai Ego: Refleksi Hari Ibu
Pernah nggak sih, kamu merasa nasihat Ibu itu kedengarannya "gitu-gitu aja"?
Kadang Ibu bukan orang yang punya argumen paling logis kalau diajak debat. Beliau mungkin nggak tahu cara kerja algoritma terbaru atau nggak paham teori-teori rumit yang kita pelajari di kantor atau kampus. Malah, seringnya omongan Ibu itu repetitif. Diulang-ulang sampai kita kadang refleks menjawab, "Iya, Bu, sudah tahu..."
Tapi, makin ke sini saya makin sadar satu hal.
Dunia luar ngajarin kita untuk selalu dengerin siapa yang paling pinter, siapa yang suaranya paling keras, atau siapa yang punya kuasa paling tinggi. Kita terbiasa menakar kebenaran lewat logika yang kaku. Tapi Ibu? Ibu punya jalurnya sendiri.
Bukan Soal Siapa yang Paling Cerdas
Ibu pantas didengerin bukan karena dia yang paling jago berargumen atau pendapatnya selalu 100% benar secara teknis. Beliau didengerin karena setiap nasihatnya lahir dari hati yang:
- Paling lama begadang demi mastiin kita tidur nyenyak.
- Paling sering cemas tanpa suara saat kita telat pulang.
- Paling tulus berharap kita selamat, bahkan saat beliau tahu kita sedang salah jalan.
Ilmu "Dengerin Pakai Hati"
Kalau logika punya batas, cinta nggak. Saat kita merasa paling benar dengan ego kita, Ibu hadir dengan kesederhanaannya untuk ngingetin kalau hidup bukan cuma soal menang-kalahan dalam debat.
Mungkin nasihatnya cuma sepele, seperti "Jangan lupa makan," atau "Sabar ya, Nak." Kedengarannya klise? Memang. Tapi di balik kata-kata simpel itu, ada doa yang nggak pernah putus.
Di Hari Ibu Nasional 2025 ini, saya mau belajar lagi satu hal penting: Dengerin pakai cinta, bukan pakai ego. Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan cuma jawaban paling cerdas, tapi pelukan yang paling tulus.
Selamat Hari Ibu untuk semua perempuan hebat di luar sana. Terima kasih sudah menjadi tempat pulang yang paling teduh.

Komentar
Posting Komentar