Ketika Ayat Semesta Menjadi Kurikulum
"Iqra. Bacalah." Ketika Ayat Semesta Menjadi Kurikulum Utama Pendidikan Abad ke-21
Membaca Bukan Hanya Teks: Menguji Paradoks Literasi di Indonesia dan Dunia
Perintah pertama yang diturunkan, "Iqra. Bacalah.", seringkali kita persempit maknanya hanya pada tulisan—buku, teks, dan kurikulum formal sekolah. Namun, sebuah kearifan lokal dari seorang tetua di ranah Minang menawarkan perspektif yang jauh lebih luas: Iqra adalah perintah untuk membaca seluruh alam semesta.
Pepatah Minang yang berbunyi, "Alam takambang jadi guru", merangkum konsep ini: bahwa dalam setiap helai daun, dalam falsafah hidup matrilineal, hingga dalam retak tanah, tersimpan "ayat" (tanda) Tuhan yang mengajarkan hikmah. Pendidikan, dalam perspektif ini, bukanlah sekadar aktivitas mengumpulkan ilmu, melainkan proses menghayati dan memahami.
Ironisnya, di tengah era informasi dan peningkatan akses pendidikan formal, kita justru menghadapi tantangan literasi yang kompleks.
- Literasi Teks vs. Literasi Hidup: Meskipun tingkat melek huruf (kemampuan membaca dan menulis) di Indonesia telah mencapai angka yang tinggi, literasi fungsional dan numerasi masih menjadi perhatian. Berdasarkan data OECD PISA 2022, Indonesia menduduki peringkat sangat rendah dalam kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains di antara negara-negara yang disurvei. Ini menunjukkan bahwa kemampuan membaca teks tidak otomatis menghasilkan kemampuan membaca konteks—sebuah gap antara kecerdasan kognitif dan kearifan ekologis.
Pendidikan Lingkungan dan Jawaban dari "Sekolah Alam"
Kesadaran akan kegagalan membaca "ayat semesta" inilah yang melahirkan kebutuhan mendesak akan pendidikan lingkungan yang lebih holistik. Kerusakan ekologis global—mulai dari krisis iklim, deforestasi, hingga polusi plastik—adalah bukti nyata bahwa umat manusia telah "berhenti membaca alam" dan melupakan hablum minal makhluk (hubungan dengan sesama ciptaan).
Di sinilah Sekolah Alam dan konsep pendidikan berbasis alam (Nature-Based Education/NBE) mendapatkan relevansi yang tinggi, tidak hanya sebagai tren, tetapi sebagai koreksi fundamental terhadap model pendidikan konvensional.
- Sekolah Alam sebagai Respons Holistik: Sekolah Alam, yang menekankan pembelajaran langsung di lingkungan terbuka, berupaya menyatukan kembali kurikulum formal dengan kurikulum alam. Metode ini terbukti efektif menumbuhkan empati ekologis dan kesadaran konservasi sejak dini.
- Dukungan Penelitian: Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa NBE tidak hanya meningkatkan pengetahuan lingkungan, tetapi juga keterampilan kognitif dan sosial. Anak-anak yang belajar di luar ruangan cenderung menunjukkan peningkatan problem-solving skills, penurunan tingkat stres, dan peningkatan keterlibatan akademik (Sumber: The North American Association for Environmental Education / NAAEE). Mereka belajar bahwa sungai bukan hanya objek geografi, tetapi sistem kehidupan yang rentan, dan pohon bukan sekadar sumber kayu, tetapi paru-paru bumi yang harus dijaga.
Ancaman "Iqra Tanpa Bismirabbik"
Namun, tantangan terbesar dari ajaran Iqra ini terletak pada kelanjutan ayatnya: "Iqra... bismirabbik." Bacalah, dengan nama Tuhanmu.
Kecerdasan tanpa basis etika ilahiah akan mengarah pada kepandaian yang serakah. Inilah fenomena "Iqra tanpa Bismirabbik"—orang yang pintar, tetapi merusak; cerdas, tetapi egois.
- Ilmu dan Etika: Sejarah mencatat, kemajuan sains dan teknologi yang terlepas dari pertimbangan etika dan spiritual seringkali berujung pada kerusakan massal. Saat ini, literasi yang paling penting adalah literasi etika: kemampuan membaca dampak dari setiap tindakan kita terhadap bumi dan sesama makhluk.
- Ilmu sebagai Tanggung Jawab: Pendidikan sejati seharusnya menumbuhkan kerendahan hati (tawadhu), mengakui keagungan Sang Pencipta dalam setiap fenomena alam. Ketika ilmu hanya dibaca oleh akal dan mengabaikan iman, manusia berubah dari penjaga (khalifah) menjadi penguasa yang haus eksploitasi.
Waktunya untuk Membaca Diri dan Semesta
Pesan dari tetua Minang tersebut adalah refleksi universal. Pendidikan kita, baik di tingkat nasional maupun global, perlu bertransformasi. Bukan hanya tentang mengejar angka-angka kelulusan atau skor PISA, melainkan tentang membentuk individu yang utuh, yang mampu membaca teks tertulis sekaligus teks terhampar.
Mari kita bercermin: Sejauh mana kita telah mengembalikan kebaikan pada bumi yang memberi makan kita? Jika alam tak henti memberi, mengapa kita begitu pelit untuk menjaga?
Inilah saatnya untuk kembali Iqra—membuka mata, membuka hati, dan kembali membaca alam, membaca tanda, dan yang terpenting, membaca diri sendiri. Karena sejatinya, membaca adalah bagaimana kita memperlakukan hidup.
#ceritainspirasi #pendidikanindonesia #literasialam #sekolahalam #etikaekologi

Komentar
Posting Komentar