Simbiosis Sastra dan Sains
Simbiosis Sastra dan Sains: Menanam Mitigasi di Ruang Kelas IPA
Abdulloh Aup
Sebagai seorang lulusan Pendidikan Biologi yang setiap hari berhadapan dengan mikroskop, sel, dan ekosistem, saya sering melihat sains sebagai bahasa yang kaku dan penuh data. Namun, di tengah kondisi Indonesia yang secara geografis berada di Ring of Fire—negeri yang akrab dengan gempa, erupsi, dan banjir—saya menyadari satu hal: Sains butuh rasa untuk sampai ke jiwa.
Di Hari Pantun Nasional ini, saya ingin bicara tentang sebuah 'simbiosis' unik. Bukan mutualisme antara kerbau dan burung jalak, melainkan simbiosis antara Sastra (Pantun) dan Sains (IPA) dalam misi besar bernama Mitigasi Bencana.
Mengapa Sastra di Kelas IPA?
Mungkin terdengar tidak biasa. Namun, mengajarkan Biologi dan IPA di tengah rentetan bencana alam yang menimpa tanah air belakangan ini menuntut kita, para pendidik, untuk lebih kreatif. Data sains tentang pergeseran lempeng atau siklus hidrologi seringkali berhenti di kepala siswa sebagai hafalan.
Di sinilah pantun mengambil peran sebagai jembatan kognitif. Pantun adalah kearifan lokal yang mampu menyederhanakan kompleksitas sains menjadi pengingat yang melekat di ingatan (memori jangka panjang).
Menanam Mitigasi Lewat Rima
Dalam kelas IPA saya, mitigasi bukan sekadar simulasi lari ke lapangan. Ia bisa dimulai dari merangkai bait. Ketika siswa diminta membuat pantun tentang pelestarian mangrove untuk mencegah abrasi, atau pantun tentang tanda-tanda tsunami, mereka sebenarnya sedang melakukan internalisasi nilai.
Hutan bakau akarnya kuat,
Tempat bersarang ikan seligi.
Alam dijaga dengan mufakat,
Bencana datang takkan merugi.
Bagi saya, pantun adalah Early Warning System berbasis budaya. Melalui rima, kita menanamkan kewaspadaan tanpa menciptakan ketakutan yang berlebihan.
Harapan untuk Pendidikan Indonesia
Bencana alam adalah realita kita di Indonesia. Sebagai guru, tugas kita bukan hanya mencetak siswa yang hafal rumus fisika atau struktur sel, tapi mencetak generasi yang "akrab" dengan alamnya. Generasi yang paham secara sains mengapa bumi bergetar, tapi juga punya adab bahasa untuk menghormati dan menjaga alam tersebut.
Mari kita gunakan Hari Pantun Nasional ini untuk mempererat simbiosis antara logika sains dan etika sastra. Karena di ruang kelas IPA, kita tidak hanya sedang mengajarkan ilmu pengetahuan, kita sedang menanam harapan agar Indonesia lebih tangguh menghadapi tantangan alam di masa depan.
Langkah Keren Selanjutnya:
Karena judulnya sudah sangat berkelas, bagaimana kalau di akhir blog Ubie menyertakan "Tantangan Pantun Sains"? Ubie bisa mengajak pembaca (terutama sesama guru atau siswa) untuk menuliskan pantun bertema lingkungan/IPA di kolom komentar.

Komentar
Posting Komentar