Kemiskinan Proyek yang Sengaja Dipelihara Negara?
Kemiskinan Bukan Takdir, Tapi Proyek yang Sengaja Dipelihara Negara.
Saya muak. Saya yakin Anda juga. Kita semua capek mendengar mantra pembius paling kejam ini: "Yang penting sabar," "Syukuri saja," atau "Beginilah nasib orang kecil." Kalimat-kalimat klise ini bukan filosofFaktanya, kita tahu betul. Yang membuat jutaan rakyat tetap miskin itu bukan alam, tapi struktur yang disengaja: upah ditekan, harga dinaikkan, lahan dirampas, pendidikan dipersulit, kesehatan diperdagangkan, dan hidup diangsur dari utang ke utang.
Ketika orang miskin berani protes, jawaban balik dari sistem selalu: "Jangan banyak menuntut Negara," "Nanti juga ada jalan rezekinya."i bijak, tapi sebuah alat penghapus tanggung jawab yang sempurna.
Sebab, jika kemiskinan hanya soal "nasib" atau "garis tangan," maka: negara bebas dari tuntutan, kebijakan publik bebas dari audit, dan pejabat bebas dari dosa karena mengabaikan sumpah jabatannya.
Faktanya, kita tahu betul. Yang membuat jutaan rakyat tetap miskin itu bukan alam, tapi struktur yang disengaja: upah ditekan, harga dinaikkan, lahan dirampas, pendidikan dipersulit, kesehatan diperdagangkan, dan hidup diangsur dari utang ke utang.
Ketika orang miskin berani protes, jawaban balik dari sistem selalu: "Jangan banyak menuntut Negara," "Nanti juga ada jalan rezekinya."
Ya elah. Rezeki itu bukan jatuh dari langit langsung begitu saja namun bisa diusahakan untuk bisa berimbang baik secara sistem dan nonsistem. Rezeki adalah hasil dari sistem yang adil dan terbuka. Dan apa yang kita miliki saat ini? Bukan sistem adil, tapi sistem yang dirancang dengan cerdas untuk memastikan orang tetap miskin—hidup, tapi tidak mandiri.
Orang Miskin: Aset Politik Paling Murah dan Mudah Digiring
Mari bicara blak-blakan. Kaum miskin adalah kelompok massa yang paling gampang diarahkan, bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka tidak memiliki ruang untuk membangkang.
- Menolak? Perut anak-anak kosong hari ini.
- Protes kebijakan? Bantuan sosial (Bansos) dicoret.
- Vokal dan kritis? Pekerjaan (kontrak harian) hilang.
Hidup kaum miskin dipagari oleh ancaman-ancaman tak tertulis namun efektif: takut anak tidak makan, takut sewa rumah nunggak, takut listrik mati. Dalam kondisi di mana yang dipikirkan hanyalah "besok makan apa," jangan sok idealis menuntut mereka memikirkan konstitusi atau keadilan sosial.
Negara tahu betul titik lemah ini. Karena itu, yang dirawat bukan kemandirian (yang menciptakan warga negara kritis), melainkan ketergantungan (yang menciptakan pemilih patuh).
Bansos dan MBG: Remote Control Massa Versi Baru
Setiap kali negara menggelontorkan Bansos, narasinya selalu dibungkus dengan moralitas seolah-olah itu adalah anugerah. Padahal, bantuan sekadarnya itu berfungsi sebagai firewall: menjaga agar rakyat tidak mati, tidak meledak, dan tidak memberontak, sementara sistem eksploitatif (upah rendah, kartel) tetap aman.
Yang lebih kejam: Bansos secara psikologis mengubah hak menjadi belas kasihan.
Dan kini, kita diperkenalkan dengan narasi baru yang tampak humanis: Makan Bergizi Gratis (MBG). Bukankah lebih baik negara memastikan upah layak, harga pangan murah, dan akses kesehatan gratis agar rakyat bisa makan bergizi dari hasil kerja mereka sendiri?
Jika skema MBG dijalankan, ia berpotensi menjadi remote control massa versi 2.0.
- Ia menciptakan ketergantungan baru: Hak untuk makan yang layak diubah menjadi subsidi top-down yang sewaktu-waktu bisa dicabut.
- Ia menguntungkan kartel dan food corporate: Pemasok utamanya adalah perusahaan besar, bukan petani lokal mandiri.
- Ia mengalihkan perhatian: Negara fokus pada pemberian "makan siap saji," bukan pada pembenahan kerusakan sistem pangan (pupuk mahal, irigasi rusak) yang membuat petani dan buruh tidak mampu membeli makanan layak sejak awal.
Kemiskinan dan Perusakan Alam: Dua Sisi Mata Uang Elite
Kemiskinan dan perusakan lingkungan adalah strategi yang saling terkait. Perhatikan di mana kemiskinan paling parah terjadi: di sekitar hutan, di pesisir. Wilayah-wilayah ini adalah sasaran empuk ekspansi tambang dan monokultur sawit.
- Perampasan Lahan: Tanah petani dirampas, mengubah mereka dari petani berdaulat menjadi buruh migran/kontrak di kota, yang menambah populasi kemiskinan perkotaan.
- Kerusakan Sumber Daya: Limbah meracuni sungai. Nelayan dan petani kehilangan mata pencaharian, memaksa mereka menerima bantuan ala kadarnya dari corporate atau negara.
Kemiskinan adalah pembenaran bagi elite untuk merusak alam. Dengan menciptakan dan memelihara rakyat yang miskin, yang pikirannya cuma "besok makan apa," negara memastikan bahwa perlawanan terhadap perusakan alam akan selalu lemah.
Pendidikan Disengaja Tumpul: Pabrik Pencetak Buruh Patuh
Kalau pendidikan benar-benar membebaskan, yang lahir itu bukan buruh patuh massal, tapi warga kritis berjamaah. Tetapi yang terjadi, sistem pendidikan kita didesain sebagai pabrik pencetak tenaga kerja patuh untuk memenuhi permintaan pasar yang diciptakan oleh segelintir elite.
- Anak diajari menghafal, bukan menganalisis struktur ketidakadilan.
- Diajari taat, bukan menggugat kebijakan yang merugikan.
- Diajari lulus, bukan menjadi warga yang merdeka secara pemikiran.
Akhirnya yang lahir itu: pekerja patuh, yang terbiasa diupah rendah, dan yang paling penting—tidak berani menuntut. Selama rakyat tidak kritis, kemiskinan akan terus dipelihara, dan proyek-proyek perusak alam bisa berjalan mulus tanpa perlawanan serius.
Musim Pemilu: Panen Raya Kemiskinan
Setiap lima tahun, orang miskin mendadak menjadi "sangat penting." Mereka dipeluk, difoto, dan diberi bingkisan. Setelah itu? Mereka kembali menjadi: angka statistik, beban APBN, dan target Bansos.
Orang miskin diperlakukan sebagai alat kemenangan, bukan sebagai warga negara penuh. Dan karena sistem yang berlaku memang dirancang untuk menjaga mereka tetap lapar, akhirnya mereka terpaksa memilih dengan perut, bukan dengan logika.
Negara Lebih Takut Kehilangan Kekuasaan daripada Kehilangan Rakyat
Perhatikan paradoks ini: Anggaran Bansos selalu naik (untuk mengelola akibat). Namun, Reforma agraria stagnan, kartel pangan tetap berkuasa, dan tambang terus melahap kampung (untuk menjaga sumber penyebab).
Negara lebih takut kehilangan support dari elit dan cukong daripada kehilangan rakyat dari kemiskinan. Karena memutus rantai kemiskinan berarti memukul kartel, membagi tanah, dan menggaji buruh layak—semua itu ditakuti penguasa.
💡 Yang Ditakuti Penguasa: Saat Orang Miskin Berhenti Tergantung
Orang miskin tidak pernah ditakuti oleh kekuasaan. Yang ditakuti adalah ketika status mereka naik level dari "masalah sosial" menjadi "ancaman politik." Ini terjadi begitu mereka: mulai mandiri, mulai paham struktur eksploitasi, dan berani menolak. Di titik itu, sikap negara berubah drastis: dari "peduli" menjadi "tegas."
Mari kita jujur. Kemiskinan di Indonesia: tidak benar-benar mau dihapus, cuma mau dikelola, dan dijaga di level yang "tidak meledak" tapi cukup besar untuk menjadi alat politik.
Seperti kata Tan Malaka: “Mereka tidak takut rakyat miskin… Mereka takut ketika rakyat terlalu kritis dan cerdas.”
Selama bantuan lebih dirayakan daripada keadilan, dan kemiskinan dijadikan alat, jangan heran jika rakyat tetap miskin, elit tetap makmur, dan pejabat tetap tersenyum.
Jika setelah membaca ini dada Anda panas, itu bukan karena tulisannya kasar. Itu karena Anda sadar: Kemiskinan di negeri ini bukan sekadar ketidakmampuan negara, tapi hasil dari pilihan-pilihan politik yang sadar dan disengaja.

Komentar
Posting Komentar