Cinta Dijual di Etalase TikTok
Ilusi Kemewahan dan Tragedi Ekspektasi: Ketika Cinta Dijual di Etalase TikTok
Abdulloh Aup / Aupdentata
Di era digital ini, layar ponsel bukan lagi sekadar jendela, melainkan cermin yang memantulkan distorsi realitas. Ada fenomena yang menggelegak, unik sekaligus tragis, di ranah For You Page (FYP) TikTok. Gadis-gadis muda, yang mungkin baru menelan tiga video tentang gaya hidup cowok "tajir," seketika merevisi seluruh prinsip hidup mereka. "Aku enggak matre kok," kilah mereka dengan nada defensif, "cuman realistis." Realisme yang aneh, yang kemudian berujung pada daftar kriteria pasangan yang panjang: minimal gaji 500 juta sebulan, rumah sudah lunas, dan kemampuan untuk healing setiap minggu. Jika ada yang berani mempertanyakan, cap "miskin mindset" langsung melayang.
Reduksi Realitas dan Tragedi Saldo
Ironisnya, di sini, konsep "realistis" telah direduksi secara brutal menjadi urusan saldo rekening dan fasilitas mewah. Realisme, yang seharusnya berakar pada pemahaman akan visi hidup, nilai-nilai, perjuangan bersama, dan komitmen jangka panjang, kini terpangkas menjadi sebatas kemampuan finansial. Ini bukan lagi tentang membangun sebuah kehidupan, melainkan tentang membeli tiket naik kelas sosial.
Pria-pria yang menawarkan perjalanan "mulai dari nol" langsung dilabeli sebagai beban hidup. Sementara mereka yang datang dengan SUV mengkilap disembah bak dewa, tak peduli apakah empati mereka seluas dashboard mobil atau justru kosong melompong. Kemewahan dijadikan alat ukur status, bukan lagi kebutuhan atau hasil dari jerih payah yang tulus. Dan perempuan-perempuan yang terjebak dalam pusaran standar TikTok ini, tanpa sadar, telah terjerumus dalam logika yang sama. Mereka tidak sedang mencari pasangan hidup; mereka mencari upgrade status.
Kapitalisme Cinta dan Bahaya Jangka Panjang
Materi telah dinobatkan sebagai manifestasi cinta tertinggi, sementara kemiskinan diidentifikasi sebagai dosa fundamental. TikTok, dengan algoritmanya yang adiktif, perlahan menggiring sebagian perempuan untuk tidak lagi mencintai manusia seutuhnya, melainkan potensi rekeningnya. Ini adalah sebuah anomali berbahaya, bukan hanya bagi individu yang terlibat, tetapi juga bagi fondasi hubungan dan generasi mendatang.
Jika cinta hanya bisa hadir setelah transfer gaji bulanan, maka yang lahir bukanlah sebuah hubungan yang kokoh, melainkan sebuah kontrak dagang tanpa akta resmi. Sebuah transaksionalitas yang rapuh, mudah putus ketika "harga" di pasaran tidak lagi sesuai ekspektasi. Ikatan emosional digantikan oleh kesepakatan finansial, yang pada akhirnya akan mengikis esensi dari apa itu sebuah partnership dalam hidup.
Satire di Kursi Plastik
Pemandangan ini menjadi semakin satir ketika kita menyaksikan "manajer HRD alam semesta" ini memproklamirkan standar setinggi langit. Lelaki ideal menurut mereka harus memiliki rumah lunas, mobil SUV, tabungan tak berseri, dan kapasitas untuk mentraktir di mal mewah setiap akhir pekan—semua demi selfie yang "layak." Namun, ironisnya, tuntutan-tuntutan itu seringkali disuarakan sambil duduk di kursi plastik, di gang sempit yang aroma comberannya beradu dengan riuh tukang tahu bulat. Rumah mereka sendiri mungkin masih bagian dari statistik kemiskinan kota, namun standar mereka melambung seperti khotbah tanpa kitab suci.
Ini adalah sebuah ironi yang telah menjelma menjadi satire hidup, sebuah cermin yang menunjukkan betapa distorsifnya persepsi nilai yang ditawarkan oleh platform digital.
Sebuah Peringatan untuk Generasi
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menghakimi, melainkan untuk menggugah kesadaran. Sebuah peringatan bagi mereka yang "mabuk standar TikTok" agar kembali berpijak pada bumi yang realistis, bukan realitas yang direduksi.
- Agar tidak ada lagi kasus perceraian dini yang dipicu oleh standar TikTok yang absurd, padahal usia pernikahan mereka masih seumur jagung.
- Agar tidak ada lagi pasangan yang gagal menikah hanya karena ekspektasi palsu yang ditanamkan algoritma.
- Agar para lelaki generasi kita berani untuk menikah, tanpa harus merasa terintimidasi oleh daftar tuntutan finansial yang tak masuk akal.
- Agar para wanita generasi kita tidak menghabiskan waktu berharga menunggu jodoh dari standar yang sejatinya adalah ilusi, sehingga mereka bisa menemukan kebahagiaan dalam hubungan yang tulus dan berlandaskan nilai, bukan nilai tukar.
Mari kita ajak mereka untuk merenung, bahwa cinta sejati dibangun di atas fondasi yang lebih dalam dari sekadar angka di rekening bank. Cinta sejati adalah visi yang dibagikan, perjuangan yang diemban bersama, dan komitmen untuk tumbuh—bukan hanya secara finansial, tetapi juga sebagai manusia. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati bukanlah tentang healing setiap minggu, melainkan tentang memiliki seseorang yang bisa menyembuhkan luka-luka hidup bersamamu, terlepas dari apa yang tampil di layar FYP.

Komentar
Posting Komentar