Membela Guru PPPK dan Honorer?
Senja di Garis Depan Pendidikan: Siapa Sebenarnya yang Membela Guru PPPK dan Honorer?
Kita semua tahu, pendidikan adalah investasi paling fundamental bagi sebuah bangsa. Namun, ironisnya, para penjaga gawang investasi ini—para guru—justru menjadi pihak yang paling sering digantung nasibnya. Di tengah hiruk pikuk janji manis pemerintah untuk menuntaskan masalah tenaga honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebelum tenggat 2025-2026, muncul pertanyaan kritis yang tak bisa dihindari: Di mana suara lantang organisasi guru terbesar kita, dan di mana peran para wakil rakyat?
Izin, saya ingin menulis ini dengan jujur.
🚩 Janji dan Data: Jurang yang Kian Menganga
Selama bertahun-tahun, skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) digadang-gadang sebagai "jalan keluar" bagi guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun dengan upah minim. Ini memang upaya pemerintah, namun upaya yang jauh dari kata selesai.
Data Bicara:
- Hingga awal 2025, tercatat lebih dari 1,6 juta tenaga non-ASN (termasuk guru honorer) telah terdata di Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk mengikuti seleksi PPPK. Ini adalah angka masif.
- Target pemerintah untuk mengangkat 1 juta guru PPPK sejak 2021 pun berulang kali kandas karena formasi yang diajukan daerah tak kunjung terpenuhi, menciptakan ketidakpastian. Sebagai contoh, di tahun 2024, proses seleksi masih diwarnai isu kecurangan, manipulasi data, hingga pembatalan pengangkatan, yang merugikan mereka yang sudah berjuang keras.
- Pemerintah telah menegaskan bahwa kebijakan afirmasi pengangkatan honorer menjadi PPPK hanya berlaku hingga tahun 2025 (sebelum transisi di 2026 yang akan berfokus pada lulusan Pendidikan Profesi Guru/PPG). Ini artinya, waktu semakin sempit, dan bagi ribuan guru honorer yang belum terdata atau belum lulus seleksi, ancaman PHK atau dipekerjakan dalam skema PPPK Paruh Waktu yang gajinya masih belum jelas menjadi bayangan nyata.
Kita melihat upaya—ya. Tapi kita juga melihat sebuah perlombaan melawan waktu yang tidak adil bagi para guru.
🏛️ Para Wakil Rakyat di Senayan: Kewenangan yang Terabaikan
Isu pengangkatan guru adalah isu kebijakan dan anggaran, dan di sinilah peran DPR RI mutlak dibutuhkan. DPR bukan hanya tukang kritik yang bersuara di media, mereka adalah pemegang kunci legislasi dan pengawasan anggaran yang dapat menyelesaikan masalah ini secara fundamental.
Janji Besar di Tengah Kewenangan yang Sunyi:
Dalam revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) terbaru, muncul harapan besar mengenai penyederhanaan status kepegawaian. Anggota dewan sering kali melontarkan janji politik bahwa:
- Guru PPPK akan memiliki jalur atau hak khusus untuk diangkat menjadi PNS seutuhnya (melalui skema massal bukan seleksi ketat), mengingat pengabdian mereka.
- Guru Honorer yang sudah lama mengabdi dan terdata akan diangkat menjadi PPPK atau ASN secara menyeluruh sebelum tenggat 2026, tanpa ada yang tereliminasi.
Namun, di tengah retorika janji tersebut, kinerja riil pengawasan anggaran dan penekanan kebijakan DPR kepada Kementerian terkait (Kemenpan RB, Kemendikbudristek, Kemenkeu) terasa lambat dan kurang mendesak.
Pertanyaan Krusial untuk DPR: Anda memiliki fungsi Budgeting dan Pengawasan. Sudahkah Anda memastikan alokasi APBN benar-benar cukup untuk mengangkat jutaan honorer dan menjamin tunjangan penuh bagi PPPK? Sudahkah Anda membuat Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU ASN yang secara eksplisit mewajibkan transisi PPPK ke PNS bagi guru yang memenuhi syarat, bukan sekadar memungkinkan?
Jika DPR hanya mengeluarkan rekomendasi tanpa adanya tekanan politik dan anggaran yang mengikat, maka janji-janji tersebut hanyalah komoditas politik lima tahunan yang akan segera usang. Mereka harus menggunakan hak interpelasi dan angket jika perlu, untuk memastikan pemerintah melaksanakan komitmennya sebelum 2026.
🎭 Panggung Organisasi Guru: Suara yang Hening
Inilah titik kritisnya. Di saat nasib ribuan guru PPPK yang sudah lolos masih terganjal penempatan, tunjangan daerah, dan perpanjangan kontrak, dan saat nasib jutaan honorer menuju "zero honorer" pada 2026 masih dalam ketidakpastian, kita menoleh ke panggung besar.
Kita memiliki dua organisasi guru raksasa di Indonesia: Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Keduanya memiliki struktur hingga ke akar rumput, memiliki daya tawar politik, dan—seharusnya—memiliki mandat moral untuk membela anggotanya.
Namun, di tengah krisis deadline 2025-2026 ini, mengapa suara mereka terkesan hanya sayup-sayup?
Kritik Keras: Organisasi guru terbesar cenderung menjadi ‘pemadam kebakaran’ atau ‘tukang stempel’ kebijakan pemerintah, alih-alih menjadi lokomotif perubahan dan advokasi yang radikal, terutama dalam menuntut pertanggungjawaban DPR dan Pemerintah.
- Advokasi Setengah Hati untuk PPPK: Isu guru PPPK yang baru diangkat tapi justru ditempatkan di sekolah swasta atau guru P1 (Prioritas 1) yang berhak mendapat formasi justru belum tuntas. Jika organisasi ini benar-benar membela, seharusnya mereka menekan pemerintah daerah dan pusat untuk memastikan kepatuhan mutlak terhadap janji penempatan yang adil, bukan hanya mengapresiasi kuota yang dibuka.
-
Membisu di Isu Honorer 2026: Ancaman "zero honorer" di 2026 tanpa solusi pengangkatan yang menyeluruh dan otomatis bagi mereka yang telah lama mengabdi adalah sebuah tragedi kemanusiaan. PGRI dan IGI, dengan kekuatan massanya, seharusnya mendesak:
- Pengangkatan Otomatis bagi honorer yang memenuhi kriteria pengabdian dan terdata di Dapodik, tanpa melalui seleksi yang berulang kali gagal mengakomodasi.
- Jaminan Anggaran dari APBN dan APBD agar formasi yang dibuka benar-benar terisi, sehingga target jutaan guru ASN tercapai.
Apa gunanya organisasi guru yang megah dengan gedung dan struktur besar jika di hadapan ketidakadilan nasib anggotanya, mereka memilih diplomasi yang sunyi? Ini bukan lagi tentang perbedaan warna bendera organisasi; ini tentang kewajiban moral membela martabat profesi.
💡 Jalan ke Depan: Menuntut Pertanggungjawaban Kolektif
Solusi bagi persoalan guru PPPK dan Honorer tidak cukup hanya bersandar pada kebaikan hati pemerintah melalui skema seleksi yang kompetitif. Harus ada tekanan kolektif yang konsisten dari garda terdepan para guru itu sendiri.
Kepada para pemimpin organisasi guru, dan terkhusus kepada anggota DPR yang duduk di Komisi X (Pendidikan): Tolong, ubah haluan!
Tunjukkan kepada publik, melalui tindakan nyata dan legislasi yang mengikat, bahwa janji untuk mengangkat PPPK ke PNS seutuhnya dan menuntaskan masalah honorer sebelum 2026 adalah mandat konstitusional, bukan sekadar manuver politik.
Jika organisasi terbesar dan DPR gagal melaksanakan fungsi advokasi fundamental ini, maka pertanyaannya bukan lagi "Siapa yang membela kita?" tetapi, "Untuk apa representasi rakyat dan profesi ini ada?"
Inilah saatnya bagi PGRI, IGI, dan seluruh organisasi guru, didukung oleh pengawasan tajam dari DPR, untuk membuktikan relevansi mereka. Karena jika tidak, sejarah akan mencatat: Di saat guru sedang berjuang di ambang batas pengabdian, payung perlindungan mereka hanyalah janji di atas kertas.
Tuntutlah Kepastian, Bukan Harapan Semu.

Sukses selalu master
BalasHapus